Minggu, 11 Maret 2012

Pendidikan Penyembuh Kemiskinan?


RISET terbaru para ahli ekonomi menyebutkan pendidikan hanya menyumbang sedikit, yaitu sekitar 16,1% per tahun, pertumbuhan produk domestik bruto rata-rata negara di dunia (Greg J Duncan: 2010). Di samping memercayai bahwa investasi di bidang pendidikan memang sangat strategis dan signifikan, terutama pendidikan prasekolah, para ahli ekonomi me nyarankan agar dunia pendidikan memiliki kepekaan pasar dalam rangka menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan para siswa.
Memadukan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan dunia kerja merupakan sebuah keniscayaan yang harus ditekuni para pengambil kebijakan bidang pendidikan.

Orang Miskin Wajib Sekolah


UNGKAPAN ‘orang miskindilarang s e k o l a h ’ , s e b a gaimana juga menjadi judul buku Eko Prasetyo (2004), sedikit demi sedikit mulai pudar kebenarannya-meskipun realitas kemiskinan tetaplah menjadi hantu menakutkan. Eko mengkritik dengan keras kesemrawutan sistem pendidikan nasional dan kesenjangan sosial. Pendidikan, menurut dia, hanya bisa diakses orang-orang kaya semata, sedangkan masyarakat miskin banyak yang tersingkir karena tak mampu membayar ongkos mahal biaya pendidikan.
Dari kacamata ekonomipolitik global, pendapat Eko tersebut dapatlah dibenarkan tentang apa yang lazim disebut dengan kapitalisasi atau ko mersialisasi pendidikan. Dalam teori ini, praktik pendidikan layaknya sebuah pasar yang di dalamnya terdapat ‘jual-beli’ antara penyelenggara/pengelola lembaga sekolah/kampus dan orangtua siswa/mahasiswa lewat besaran biaya pendidikan.

Praktik komersialisasi tersebut semakin mengukuhkan liberalisasi yang digagas Alexander Rustow pada 1930-an, yang kemudian dipopulerkan dua begawan neoliberalisme, Milton Friedman dan Fre derik van Hayek, layaknya virus yang mematikan, menjalar dalam setiap tatanan sendi kehidupan. Maka, orientasi pendidikan bergeser, berpegangan pada selera masyarakat industri dan selera pasar (market society).