Minggu, 11 Maret 2012

Pendidikan Penyembuh Kemiskinan?


RISET terbaru para ahli ekonomi menyebutkan pendidikan hanya menyumbang sedikit, yaitu sekitar 16,1% per tahun, pertumbuhan produk domestik bruto rata-rata negara di dunia (Greg J Duncan: 2010). Di samping memercayai bahwa investasi di bidang pendidikan memang sangat strategis dan signifikan, terutama pendidikan prasekolah, para ahli ekonomi me nyarankan agar dunia pendidikan memiliki kepekaan pasar dalam rangka menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan para siswa.
Memadukan pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan dunia kerja merupakan sebuah keniscayaan yang harus ditekuni para pengambil kebijakan bidang pendidikan.



Namun, masalah yang kerap kali muncul ialah dunia pendidikan saat ini sangat bergantung pada situasi politik dan ekonomi sebuah negara. Karena itu menjadi jelas bahwa pendidikan bukan merupakan satu-satunya alat untuk mengurangi kemiskinan, apalagi jika dilihat dari konteks poli

tik dan sistem ekonomi yang dianut, katakanlah, liberalisme seperti di Indonesia.
Tidak ada yang meragukan tenaga kerja berpendidikan lebih baik dan lebih mungkin menikmati pendapatan yang lebih tinggi. Orang miskin benar-benar membutuhkan lebih banyak pendidikan dan pelatih an keterampilan. Akan tetapi, mereka juga membutuhkan suatu konteks ekonomi di saat pertumbuhan sejalan dengan suasana politik yang kondusif. Selama beberapa dekade terakhir, seperangkat institusi dan norma-norma yang secara historis mempertahankan hubungan antara keterampilan dan pendapatan telah berkurang. Hal itu menyebabkan sulitnya mengangkat orang miskin menjadi lebih terdidik dan memiliki keterampilan.

Meskipun keyakinan para ekonom tersebut bisa saja sa

lah, karena meyakini bahwa pendidikan hanyalah obat parsial untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, jelas sekali pandangan mereka hanya menjadikan pendidikan sebagai prasyarat bagi seseorang untuk memasuki dunia kerja.
Padahal dalam pendidikan ada banyak spektrum yang bisa menjadikan seseorang memiliki kepekaan sosial yang kuat untuk menjadikan ekonomi sebuah bangsa juga semakin kuat. Jepang merupakan contoh baik bagaimana menjadikan pendidikan sebagai nilai yang seharusnya disandingkan dengan persoalan budaya dan kepercayaan sebuah bangsa.

Salah satu problem mendasar di Indonesia yang menjadikan pendidikan sebagai pilar utama penyelesaian masalah-masalah kebangsaan ialah lemahnya otoritas pendidikan kita dalam merumuskan road-map yang sesuai dengan

kondisi sosial dan budaya bangsa. Ambil contoh masalah akses terhadap pendidikan, yang tak kunjung selesai sejak Indonesia merdeka, bahkan mungkin menjadi lebih buruk. Untuk memudahkan mengevaluasinya, kita dapat melihat data statistik jumlah sekolah di Indonesia.
Menurut data statistik Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2008/2009, jumlah sekolah di Indonesia mencapai

183.767. Jumlah itu terdiri dari 144.224 sekolah dasar (SD), 28.777 sekolah menengah pertama (SMP), dan 10.762 sekolah menengah atas (SMA). Dari jumlah tersebut, SD negeri sebanyak 131.490 (91,17%), dan SD swasta sebanyak 12.738 (8,83%). Jumlah SMP negeri sebanyak 16.898 (58,72%), sedangkan SMP swasta sebanyak 11.879 (41,28%). Jumlah SMA negeri sebanyak 4.797 (44,57%) dan SMA swasta 5.965 (55,43%).
J i k a d i t a m b a h d e n g a n jumlah madrasah (ibtidaiah, sanawiah, dan aliah) sekitar 12% dari total jumlah sekolah umum, jumlah seluruh sekolah mencapai 205.815.

Angka-angka tersebut seakan memastikan dua hal. Pertama, jelas sekali masalah aksesibilitas masih menjadi kendala bagi proses pendidikan kita sampai saat ini. Jika jumlah sekolah dasar lebih besar dari SMP

dan SMA, berarti ada problem mendasar soal rentannya anak putus sekolah. Kedua, data itu juga menunjukkan kepada kita bahwa dukungan masyarakat atau pihak swasta teramat signifi kan untuk dikesampingkan begitu saja oleh pengambil kebijakan bidang pendidikan di negeri ini. Data tersebut bahkan mengonfirmasi, jika separuh saja dari jumlah sekolah swasta bermasalah dan mengalami kendala dalam hal operasional, angka putus sekolah dipastikan akan bertambah banyak. Karena itu, dimensi sosial sekolah swasta kita harus dihitung secara benar dalam perencanaan pendidikan nasional.
Selain itu, data statistik tentang jumlah sekolah itu memberikan gambaran kepada kita bahwa masih banyak anak miskin yang bersekolah di tingkat sekolah dasar dan pasti menemui kesulitan untuk

melanjutkan pendidikan mereka jika tidak dibantu dengan banyaknya sekolah yang dikelola masyarakat (swasta). Tak sedikit sekolah swasta yang berada di kampung-kampung dan desa terpencil tutup hanya karena mereka tak memiliki dana operasional yang cukup dalam menjalankan proses belajar-mengajar.
Dalam All Together Now: Common Sense for a Fair Economy (2006), Jared Bernstein menegaskan pentingnya sebuah program yang secara sistemis mampu menolong orang miskin supaya memperoleh pendidikan yang baik dan layak untuk dan dalam rangka menjawab secara sungguh-sungguh problem menurunkan tingkat kemiskinan suatu negara.

Selain itu, memiliki program perlindungan terhadap masa depan masyarakat miskin melalui pendidikan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan dan norma sosial yang berlaku akan mempersempit ruang kaum borjuis yang serakah dan tamak untuk terus membiarkan kemiskinan menjadi penyakit sosial yang tak berkesudahan.

5 komentar: